In The Same Earth (5) - SAME EARTH

Kenapa rasanya ingin sekali menangis? Padahal di dalam kamar sendiri, tapi kenapa tidak bisa menangis? Apa karena gue seorang cowok jadi nggak bisa menangis?

Kejadian kemarin belum bisa gue lupakan. Kencan yang berakhir dengan dentuman bianglala yang berhenti berputar dan sebuah kata putus.

Gua memejamkan mata, mencoba untuk menghilangkan diri gue dari dunia ini.

Sekarang mungkin sudah jam 09.15. Bel istirahat sekolah pasti telah berbunyi. Semuanya terlihat ribut di kantin dan tidak merasakan pedihnya hati ini. Bisa kubayangkan, Janda sedang memperebutkan barisan terdepan kantin. Hmmh... gue tersenyum kecil.

Lalu di depan ruang kelas... Lyn... Lyn... Kenapa tetap saja terbayang wajah Lyn? Padahal gue berusaha untuk membayangkan yang lain. Gue baru tahu, bila putus sama pacar akan teringat kenangan-kenangan yang indah sewaktu bersama dia.

Gue memeluk erat guling yang dari tadi berada di sebelah kaki gue. Payah, jeritku dalam hati. Kenapa dia seenaknya saja bilang putus tanpa memberitahu alasan apa pun ke gue?

Apa sudah nggak ada kata sayang lagi buat gue? Apa dia bosan sama gue? Apa... Ah, terlalu banyak apa dan apa dalam pikiran gue.

Tapi bagaimana pun juga gue harus tanya langsung ke Lyn. Gue nggak mau berakhir dengannya tanpa pernah mengetahui alasan dia memutuskan gue.

Kira-kira empat puluh menit sebelum bel sekolah berbunyi, gue telah sampai di depan gerbang sekolah.

Setelah kemarin memikirkan begitu banyak hal, pagi ini gue ga akan ragu untuk menemuinya. Pagi ini juga, gue harus mengetahui dengan alasan apa dia memutuskan gue.

Tepat seperti yang gue duga, Lyn sudah datang lebih pagi untuk berlatih vokal di dalam ruang kelas yang masih sepi.

”Lyn!”

Lyn tersentak mendengar suaraku. Dia mundur satu langkah seakan takut akan pertanyaan-pertanyaan yang akan gue lemparkan.

”Du... Dun... Pagi sekali.” Dia menyapa tanpa melihat gue sedikit pun.

”Masih latihan?” gue sedikit basa-basi.

”Iya... Ooh, kemarin kamu nggak masuk ya, kenapa? Sa... Sakit?”

Gue menatapnya tajam, heran akan sikapnya yang masih mengkhawatirkan gue. Andai gue bisa mengatakan bahwa kemarin gue nggak masuk karena masih kecewa sama dia.

Dia balas menatap gua sendu. Seakan berkata, ”Maaf Dun, maaf...”

”Lyn, kenapa waktu itu loe bilang mau putus?” Gue langsung menyerangnya to the point. Langsung saja, Lyn membelalakkan matanya.

“Karena gue emang mau putus…” katanya dengan tegas.

Hati gua semakin panas, ”Kenapa? Pasti ada alasannya’ kan? Tolong, loe jujur sama gue!”

Lyn terdiam memandangku seolah memastikan bahwa cowok yang ada di depannya sungguh adalah Dun, mantan pacarnya yang tidak pernah membentaknya seperti saat ini.

”Gue... Gue nggak mau terluka, Dun!”

”Kenapa?!” suara gue makin keras.

”Loe tahu’kan hubungan jarak jauh itu kayak gimana? Apa kita masih bisa bertahan?? Kita nggak akan pernah ketemu lagi, Dun!!” Lyn balas meneriakiku. Matanya merah dan lembab.

”Kenapa nggak bisa? Sejauh apa pun jarak kita, kalau namanya suka ya tetap suka!! Kalo pacar ya tetap pacar!!”

Emosi gue memuncak. Sungguh, gue nggak mampu membayangkan seperti apa wajah gue saat ini. Yang gue tahu, gue harus terus bertanya dan bertanya sampai semuanya jelas.

Lyn menangis. Air mata pertamanya yang sedari tadi ia tahan mengalir melalui pipinya yang kemerahan.

”Dun, apa mungkin? Bahkan gue pun nggak tahu kapan kembali ke Jakarta.” Lyn terisak.

”Lyn, kalau elo nggak bisa balik ke sini, gue yang akan pergi ke tempat elo.”

Saat ini pasti mata gue berkaca-kaca. Entah karena sedih mendengar Lyn atau terharu akan kata-kata gue sendiri yang sebenarnya sering banget gue dengar di film-film drama.

”Elo sayang sama gue’ kan?” gue menambah.

Lyn mengangguk seraya menghapus air mata yang berlinang di pipinya. Lyn mengangguk sekali lagi dan menegaskan, ”Iya...”

Gue tersenyum. Lega rasanya mengetahui kalau Lyn masih menyimpan rasa suka di hatinya.

”Gue juga masih sayang sama loe. Ibarat puzzle, sayang gue hanya bisa dipasangkan dengan sayang elo. Begitu juga sayang elo hanya bisa dipasangkan dengan sayang gue.”

Lyn semakin terisak mendengar pernyataan gue tersebut. Bahkan kedua tangannya yang mungil tidak mampu menampung tetesan air matanya lagi.

”Kita... masih bisa pacaran’ kan? Sejauh apa pun jarak kita... elo mau mencoba lagi’kan jalan bareng gue?” Gue bertanya lagi dengan penuh harap.

Lyn kembali mengangguk. Meskipun tak terdengar suaranya, tapi gue tahu dia sedang mengucapkan, ”Iya, gue mau mencoba lagi sama elo.”

Matahari fajar semakin bersinar di balik awan. Yang pasti, di mana pun kita berdua berada, matahari akan selalu mengingatkan kita bahwa kita masih berada di bumi yang sama.

0 komentar: