Tidak terasa sudah lima bulan gue jalan bareng Lyn. Ada sukanya dan ada juga dukanya. Kebanyakan, sih dukanya. Entah itu diomelin karena terlambat satu menit di tempat kencan atau pun karena gue nggak memakai sepatu kalau lagi bareng dia. Apa yang salah sama kaki gue? Tetep bau, kok? Kalau sukanya, sekarang kita sudah nggak backstreet lagi.
Oh, iya ngomong-ngomong Lyn akan mengikuti perlombaan olah vokal se-SMU di Jakarta. Pantas saja dia datang ke sekolah lebih pagi untuk latihan vokal lebih banyak lagi.
”Dun, terima kasih ya.” Lyn yang berada di sebelah gue saat menaiki bianglala di Dufan memulai pembicaraan.
”Terima kasih untuk apa?” Gue bertanya sambil memandangnya.
Suasana waktu itu terasa sangat hening. Bianglala yang berputar perlahan seakan mengikuti alur cerita Lyn.
”Terima kasih untuk semuanya. Soalnya gue...” Lyn memejamkan matanya dan menghela napas panjang. ”Gue akan pergi setelah lomba olah vokal Sabtu nanti.”
”Ooh...” Entah mengapa hanya satu kata itu yang bisa kuucapkan.
”Dun?” Lyn menatapku resah.
Gue pun balas menatapnya, ”Memangnya mau pergi ke mana?”
Grek grek. Suara bianglala yang berputar semakin terdengar jelas. Jelas sekali. Semakin hening, hening, dan hanya keheningan yang dapat kurasakan.
Lyn mengepalkan tangan di atas pangkuannya. Dia mengalihkan pandangan ke tempat lain seakan sedang melihat mimpi yang jauh sekali.
Dia membuka mulutnya, ”Jerman...”
Grek grek.
Ternyata bianglala yang kami naiki telah berada di puncak tertinggi. Dari ketinggian seperti ini dapat terlihat pemandangan yang luar biasa. Angin yang berhembus pun semakin menusuk daging.
Lyn melanjutkan, ”Penyakit kakek gue semakin parah. Nyokap dan bokap ingin sekali membawanya berobat ke luar negeri tapi ia juga tidak bisa meninggalkan anaknya sendirian.” Lyn terdiam beberapa menit dan melanjutkan kembali, ”Nyokap akhirnya memutuskan untuk membawa gue ke Jerman. Gue juga nggak bisa menolak, gue nggak mau pisah sama ortu gue.”
”Kalau begitu mau bagaimana lagi... Toh, kamu bakal balik ke Jakarta lagi’kan?”
Lyn terdiam menatap laut yang seakan berada dekat dari matanya. ”Gue nggak tahu...” Lyn menjawab dengan suara kecil.
Mendengar dia berkata seperti itu, perasaan gue jadi nggak karuan. Kenapa nggak tahu? Tanya gue dalam hati.
Hari ini, kenapa Lyn terlihat begitu berbeda dari yang biasanya? Lyn yang biasanya tidak tahan bila tidak berbicara terlalu lama. Tapi baru kali ini Lyn lebih banyak diam.
”Lyn.” Gue memanggilnya, berusaha untuk membuatnya menoleh ke arah gue. Tapi dia tetap menerawang ke sisi laut. ”Lyn!” Gue berbicara lebih keras.
Dia menatap gue. Menatap diri gue dengan penuh genangan air mata. Raut mukanya menunjukkan bahwa dia sedang menahan tangisnya.
”Dun...” katanya dengan suara serak. ”Kita putus...”
Grek grek.
Suara bianglala berhenti dalam kesunyian.
0 komentar:
Posting Komentar