In The Same Earth (2) - MAKSUD HATI MEMELUK GUNUNG



Hahaha neh kisah keduanya si Dun... Semoga terhibur!!

Sore ini, Lyn pergi ke Papua. Katanya, sih mau tinggal bersama kakeknya yang sedang sakit dan pindah sekolah di sana. Lega banget, untung gue uda menyatakan perasaan gue, jadi ga perlu ada penyesalan lagi.

Oh iya, apa lebih baik gue telepon dia soal keinginan gue untuk mengantar kepergiannya? Tapi, nggak deh. Gue mau membuat surprise biar dia tahu kalo pacarnya ini beneran serius sama dia. Dan lagi gue pengen banget melihat kepergiannya.

Gue pun dengan sigap mengambil kunci mobil Honda Jass gue dan berangkat menuju bandara dengan penuh pengabdian kepada sang calon istri. Alaaah…

Sesampainya di bandara, gue langsung mencari cewek gue. Tidak peduli rintangan apa pun yang menghadang, gue akan terus berlari, berlari, dan berlari sampai kugapai matahari. Lho…

Feeling, surprise gue akan gagal, gue pun berhenti berlari dan mengatur nafas. Dari sabang sampe merauke bandara, Lyn tidak juga ketemu. Gue mulai panik kalau-kalau dia diculik om-om senang. Terus dijual ke Malaysia jadi TKW dan didera oleh majikannya. Ga mungkin!!!

Gue segera menghapus pikiran amit itu dan tiba-tiba... Teletubbies, teletubbies...

Hah? Lagu kesukaan gue terdengar. Dari mana lagu itu berasal? Norak banget, sih.

Ternyata lagu laknat tapi favorit gue itu berasal dari handphone gue. Dengan kata lain, lagu itu adalah ringtone hp gue.

”Halo, Dun!?” Ah, suara Lyn!

”Lyn, elo di mana? Udah berangkat ke Papua, ya? Jam berapa?” Hati gue makin resah menunggu jawaban darinya.

”Loe di bandara, ya?

”Iya, loe emangnya di mana?” gue bertanya lagi.

”Gue di rumah. Gue ga jadi ke Papua.”

Walaaah... Informasi yang cukup mengejutkan bagi cowok yang ingin mengejutkan ceweknya.

”Jadi...” balasku tercengang.

”Aduh, Dun! Sorry banget, ya. Tadi gue telepon ke rumah loe, kata nyokap loe, elo udah berangkat. Sorry, ya. Hehe...”

Kurang ajar, ga perlu pake ketawa hehe gitu’kan?

Akhirnya, gue pulang tanpa mendapat hasil apa-apa.

Setibanya di rumah, Kiwi menyambutku dengan hangat. Dia memelukku dan aku pun merangkulnya dengan mesra. Kubawa dia masuk ke dalam melewati ruang tamu, kemudian dapur, dan terus sampai ke ruangan harum (baca: wc). Dia pun boker di situ.

Ampun, deh... Sebenarnya yang majikan itu siapa, sih? Gue langsung meninggalkan Kiwi yang tengah berjuang di dalam sana. Selamat berjuang, kawan!!! Jangan lupa disiram, ya!

Guk... Guk... Auuuu..., balasnya.

Tak lama setelah itu, Janda berkunjung ke rumah gue. Katanya, sih mau belajar bareng.

”Dun.” sahutnya saat sedang membuat tugas. ”Kemarin gimana, loe deg-deg’an ga?”

”Ha?” Perasaan gue mulai ga enak.

”Kemarin deg-deg’an ga waktu nembak Lyn?” tanyanya mempertegas.

Ya, ampun... Ini anak kenapa, sih? Gue ga membalas pertanyaannya.

”Dun... ” Janda kembali berbicara. ”Habis itu, loe ciuman?? Ciuman gak???”

Gawat, dia tambah bersemangat! Jangan-jangan dia... Dia seorang janda!!! Janda seorang janda!? Bego ah loe!!

”Hapus tuh pikiran mesum loe, mana berani gue nyosor duluan. Lagian nggak sopan kaleee, baru jadian udah minta cium. Amit deh!!”

Janda terdiam. Ia seperti memendam sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.

”Woi, loe kenapa?”

”Tadi waktu ke sini, gua...” Janda menelan ludah, ”Gua dicium.”

Apa?!! Gue seperti mendengar suara piring pecah yang disertai dengan ledakan halilintar dan berisiknya hujan seperti yang ada di film-film. Ga mungkin, masa’ gue keduluan sama seorang Janda?

”Dicium siapa?” gue penasaran.

Janda tertunduk dan kembali menelan ludah.

Kok, suasananya jadi tegang begini, sih? Apa Janda pernah mengalami trauma? Gue memperdalam tatapan gue. Sepertinya Janda sedang menahan sesuatu, sesuatu yang berat.

”Gue...” Janda menelan ludah untuk yang ketiga kalinya. ”Gue dicium sama om–om senang.”

Gue bengong.

Masih bengong...

”Dun, loe kenapa?”

Gue denger apa barusan? Nggak, gue nggak salah denger. Om senang...?

”Kok, bisa Jan?” Gue balik bertanya.

”Kayaknya, sih om itu lagi mabok. Mungkin gue disangka istrinya kali, atau selingkuhannya, atau mungkin...”

”Homoan-nya.” Gue menyela.

”Gila loe!! Jijik banget, sih?”

”Trus, rasanya ciuman sama om-om gimana?”

Pertanyaan gue itu ternyata membuat Janda mendelik kemudian terdiam sebentar. Mungkin dia sedang menikmati bayangan ciumannya dengan om senang itu.

”Pahit, Dun...”

”Hahahahaha!!” Gue ketawa ngakak. Jelas aja pahit, mana ada ciuman sama om senang rasanya manis??

”Kayak abis nge-rokok gitu.” Janda memperjelas.

Gue mencoba menahan ketawa,” Sudah, ah. Geli gua... Ganti topik, ganti topik.”

Janda diem, mungkin lagi mikir mau ngangkat topik apa.

Gue juga diem.

Akhirnya, kita diem-dieman sampai dia pulang...

Aduh, sudah jam sebelas malam. Rasanya jari-jemari ini terasa gatal. Pingin banget mencet nomor hp Lyn and say, ”Good Night, baby (baca: beybeh)...”

Akhirnya gue telepon dia, “Ha… Halo, Lyn?”

“Dun, ngapain elo telepon malam-malam begini?”

Gue terpaku mandengar suaranya di telepon yang terdengar begitu merdu. Tapi grogi banget gue…

“Mmmm… Anu… anu…” Kenapa yang keluar Cuma anu-anu doang? Nanti disangka anu-nya siapa lagi?

Gue melanjutkan, ”Anu... Selamat tidur, ya.”

”Oh, iya. Thanks ya.”

”Lyn, mimpi in...” Tut tut tut. “…dah.”

Tut tut tuuuuut... Di-ma-ti-in?? Cuma segitu? Tidaaak! Padahal gue mengharapkan malam yang romantis di telepon. Sampai-sampai gue udah kasih judul ’Asmara yang Membara di Kabel Telepon’.

Gue tersenyum bego. Gue jadi inget film melodrama ’Cinta yang tak Berbalas’ waktu gue masih orok dulu. Pemeran wanitanya cakep banget padahal dia dulunya bencong.

Lhooo... Gak nyambung...

----------- bersambung---------

0 komentar: